Tag Archives: kamek

Kawat Gigi (cerpen filsafat padang)

Vivi Rakhena adalah anak pedusi
satu-satunya dari pasangan
Nurdin Sembalakon dan Etek
Rakena. Kok ka dibilang bentuk
jo rupa, Vivi Rakhena merupakan
gadis jolong gadang nan terbilang rancak dan seksi di
Kampung Tajorok. Pokoknya,
beriring-iring rancaknya dengan
Sofia Latjuba. Kulitnya saja putih
bak canda ubi
berkubak. Alis matanya menghitam, persis bak canda
semut sedang demo. Bibirnya
merah merekah, berair-rair
gimanaaaa…..getoh. Pokoknya
kamek benar deh….! Sayangnya,
wajahnya yang jelita itu—kata anak muda zaman
sekarang—tak seimbang dengan
nama nan disandangnya. Sangkek
lahir, Nurdin Sembalakon dan
Etek Rakena memberi nama
anaknya ini Nur Epiriani, yang disapa Epi. Namun setelah si Epi
berangkat
remaja dan memiliki pergaulan
dengan anak-anak orang kaya,
dia merasa tak nyaman dengan
nama pemberian orang tuanya tu. Singkat cerita, Epi pun
berganti nama menjadi Vivi
Rakhena. Nama Rakhena diambil
dari nama ibunya, namun disisipi
dengan huruf H. Dalam pikiran
Vivi nama Rakhena itu cukup keren juga, karena ada bau-bau
India-nya. Anak jolong gadang lah
kenamanya, tak mengukur
bayang-bayang sepanjang
badan, karena bergaul dengan
anak-anak orang kaya, gaya hidupnya lah bak canda orang
kaya saja. Otanya pun lah bak
canda anak orang kaya pula.
Padahal, apaknya si Nurdin
Sembalakon, hanya berprofesi
sebagai Tukang Pati, yang suka menumbok periuk tabuk. Tiga hari
nan lampau, ada
permintaan Vivi nan membuat
Nurdin Sembalakon agak
terumuk. Nan diminta dek
anaknya tak tanggung-tanggung pula, yaitu kawat gigi alias behel.
“Abak…., lai iba abak melihat
Vivi,” kata Vivi Rakhena pada
abaknya. “Ada apa nak? Tak ada
abak nan tak sayang ke-anaknya.
Apalagi anaknya rancak bak canda anak abak ini,” kata
Nurdin Sembalakon membalas
pertanyaan anaknya. Merasa
dapat angin, Vivi
Rakhena pun bermanja-manja ke
abaknya tu. “Vivi lah ditertawakan dek kawan-kawan.
Sebab, diantara geng kami,
hanya Vivi nan giginya tak
berkawat. Besok belikan pula Vivi
ya Bak. Tak usah nan mahal-
mahal, nan harga satu setengah juta saja cukuplah,” kata Vivi
kelamak perutnya saja.
Mendengar nan paling murah
harganya satu setengah juta,
agak terdangek juga Nurdin
Sembalakon. Tapi, dek karena rasa sayang ke-anaknya, ia tak
kuasa menulak permintaan itu.
Lantaran kawat gigi itu, si
Nurdin menjadi pening tujuh
keliling. Tak tahan dengan
persoalan nan melilit benaknya, akhirnya Nurdin pergi duduk ke
Lapau Tan Angguk, dengan
harapan bisa melupakan
persoalan nan tiba melilitnya.
Orang sedang bermasalah lah
kenamanya, di Lapau Tan Angguk itu, Nurdin Sembalakon tak
seceria nan taralah. Heran juga
orang nan duduk di lapau tu
melihat kulekat si Nurdin ini.
“Maaf Angku Nurdin, setelah saya
patut-patut dari tadi, tampaknya angku sedang
banyak masalah. Kalau boleh tau,
apa nan sedang angku pikirkan.
Cobalah ceritakan ke kami, mana
tau kami bisa mencarikan jalan
keluar masalah nan sedang Angku hadapi,” kata Hen Lepat
nan memang dikenal bijaksana di
Kampung Tajorok tu. Karena lah
merasa senasib dan
seperasaian dengan orang-orang
di lapau tu, akhirnya Nurdin pun menceritakan persoalan nan
sedang dihadapinya. Singkat
cerita, kesada nan duduk di lapau
tu juga terpurangah
mendengar permintaan anak
pedusi si Nurdin ini. Untunglah tak ada nan
mematahkan permintaan anak si
Nurdin ini. Bahkan secara
bersama-sama mereka berupaya
memikirkan jalan keluarnya. “Kok
begini gimana nyo Angku Nurdin….. Coba Angku tanya
tempat orang menjual kawat gigi
tu, mudah-mudahan saja ada
nan bisa kredit,” kata Jhon
Beruk memberi saran. “Saya rasa
ada benarnya juga saran paja ini mah. Sebab,
zaman sekarang apa saja lah
mulai dikreditkan, tak hanya beli
Oto dan Honda saja nan bisa
kredit,” kata Yan Kundur
memberi dukungan. Agak berbeda dengan Hendri
Menong, ia tak setuju dengan
cara-cara berhutang itu. Sebab,
menurutnya akan bisa terkebat-
kebat langkah deknya. “Begini
sajalah Angku Nurdin, dek karena angku lai punya
kepandaian, apalagi angku
memang tukang pati, saya rasa
serancaknya angku buat sorang
sajalah kawat gigi tu. Pandai-
pandai angku sajalah membuatnya, supaya nampak
rancak dan keren. Dengan
begitu, kan senang juga hati
anak Angku tu,” kata Hendri
Menong pula. Dari sekian banyak
saran nan diapungkan ketika itu, saran dari
Hendri Menong lah yang
diturutkan dek Nurdin
Sembalakon. Singkat cerita,
tanpa sepengetahuan anaknya,
dipotongnyalah kawat jemurannya dek Nurdin, lalu ia
mulai memati kawat itu, hanya
keuntuk menyenangkan hati
anak pedusinya.
Bimsalabim….abrakadabra….,
ternyata kawat gigi made in Nurdin selesai juga !. Kini, dengan
kawat gigi yang
terbuat dari kawat jemuran
itulah Vivi Rakhena petantang
petenteng kinyak kemari. Belajar
dari cerita Nurdin Sembalakon ini, agaknya dapat
diambil hikmah, bahwa dalam
menjalani kehidupan ini tak ada
yang paling baik dari urip sing
semadya (hidup sewajarnya),
jangan pernah punya cita cita yang ngayawara (mengada ada),
apa lagi ngedumeh atau
menyombongkan diri.