Daily Archives: Maret 3rd, 2012

Blog Sastra F. Rahardi SEKAWANAN MONYET

Cerpen F. Rahardi

Gereja itu terletak di kaki bukit, dan monyet-monyet selalu datang mengganggu setiap musim kemarau tiba. Kadang hanya satu dua ekor, tetapi bisa pula sampai puluhan ekor besar kecil menyerbu bersama. Beberapa induk monyet tampak membawa anaknya yang masih merah menempel di dada. Mereka mencari-cari makanan, masuk ke dalam gereja. Tetapi gereja di pelosok kampung seperti ini, tentu tidak ada makanan.

Umat sudah lama merasa terganggu oleh kehadiran monyet-monyet itu. Mereka usul kepada pastor, agar satwa itu diracun. Pastor tidak setuju. “Monyet juga ciptaan Allah, yang wajib kita lindungi. Biar sajalah mereka datang. Kalau ada yang punya singkong atau makanan sisa, bawalah kemari agar monyet-monyet itu tidak kelaparan.” Beberapa orang setuju. Setiapkali datang ke gereja  dari bawah sana, mereka membawa apa saja untuk diberikan kepada monyet.

Suatu ketika, tidak ada satu pun umat yang membawa makanan. Monyet-monyet itu lapar. Ketika Hosti diberkati dan akan dibagikan, monyet-monyet itu menyerbu masuk. Hosti habis dijarah. Anggurnya juga diobok-obok dan tumpah. Peristiwa ini dianggap sebagai penghinaan besar kawanan monyet kepada Allah. Tuntutan umat agar kawanan monyet itu dilenyapkan makin kuat. Tetapi pastor menjawab. “Kalau kita lupa membawakan makanan, mereka akan merampas hosti, karena mereka lapar. Bukan karena ingin menghina Allah.”

# # #

Di stasi itu, Missa hanya bisa diselenggarakan paling banyak sebulan sekali, dan pasti bukan pas hari Sabtu atau Minggu. Juga tidak mungkin pada hari Senin dan Jumat. Sebab stasi itu hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki selama satu hari penuh. Hingga kalau pastor berangkat dari paroki hari Senin, maka misa diadakan hari Selasa. Rabunya pastor kembali ke kota. Kalau berangkatnya Rabu, maka misanya Kamis dan Jum’atnya pastor pulang. Biasanya pastor datang bersama koster, frater, kategis atau siapa saja yang sempat menemani.

Pada suatu hari ketika pastor datang, kawanan monyet yang mengganggu itu tidak kelihatan lagi. “Apakah mereka pindah ke tempat lain?” Pastor itu bertanya kepada tetua umat di stasi itu. Umat itu menggeleng. “Mereka mati semua Pastor. Seharian kami mengumpulkan bangkainya dan menguburkannya. Apakah mereka terkena flu monyet ya Pastor?” Pastor itu menggeleng. “Memang monyet bisa terserang flu, tetapi tidak ada flu monyet. Kalau mereka mati semua berarti ada wabah penyakit lain.”
“Tapi anjing, kucing, ayam dan entog juga banyak yang  ikut mati Pastor! Bahkan lima ekor kambing Pak Markus, juga ikut mati.”
“Barangkali wabah penyakit ini memang telah menyerang semua binatang di kampung ini.”
“Benar Pastor, tupai dan ular juga ada yang ikut mati.”
“Baiklah, setelah misa nanti, kita adakan rapat dengan bapak-bapak di sini.”
“Ibu-ibunya juga perlu Pastor. Sebab Bu Bertha dan Bu Sisil, yakin bahwa binatang-binatang ini mati diracun.”
“Bagus, ajaklah ibu-ibu yang mau ikut. Tetapi jangan terlalu lama, sebab kita juga masih akan membicarakan rencana perbaikan bak tampungan air yang katanya ada yang bocor.”

# # #

Pertemuan sore itu berjalan alot. Sebab tidak ada satu pun umat yang mengaku telah meracun monyet-monyet itu. Beberapa orang bapak dengan sangat yakin mengatakan, bahwa Allah telah mengirim penyakit misterius sebagai peringatan bagi manusia yang telah banyak berdosa. Tetapi Bu Bertha protes. “Pastor, saya sengaja membedah perut beberapa monyet sebelum dikuburkan. Isi perut itu nasi dan singkong dan saya tebarkan ke kerumanan ayam. Ayam-ayam yang memakannya langsung kejang-kejang dan mati.”

Pastor memutuskan bahwa rapat harus segera diakhiri. Tetapi dia akan segera mencari bibit jambu biji, kersen, salam, lamtoro, sengon dan lain-lain yang buah serta pucuk daunnya disukai monyet. Pastor menduga tidak semua monyet mati. “Kalau bukit di belakang gereja itu dihijaukan, pada musim kemarau monyet tidak akan turun lagi. Sebab di atas sana makanan cukup.” Pastor lalu meminta seluruh umat bergotong-royong membuat lubang tanam di seluruh bukit itu. “Harus sudah selesai sebelum musim hujan ya? Nanti kalau hujan datang bibitnya bisa diambil dan langsung ditanam.”

Dugaan Bu Bertha dan Bu Sisil ternyata benar. Malam itu ada lima orang bapak yang datang mengaku dosa, bahwa merekalah yang telah meracun monyet-monyet itu. “Tetapi kami tidak pernah menduga bahwa banyak binatang peliharaan kami yang ikut mati Pastor. Jadi kami berlima siap dihukum dengan doa apa saja.” Lima orang laki-laki itu kepalanya menunduk dan wajahnya tampak sedih. “Dendanya bukan doa, tetapi Anda berlima harus membuat lubang lebih banyak dari bapak-bapak lainnya. Kira-kira berapa lubang yang harus digali ya?”

# # #

Lima orang itu pulang dan berharap rahasia mereka tidak disampaikan pastor ke umat lainnya. Mereka lewat jalanan yang berdebu. Kemarau tahun ini memang sangat kering dan panas. Sebenarnya bukit itu tidak terlalu besar. Panjangnya memang sampai 2 km. lebih, dengan lebar 500 m. Tetapi tingginya kurang dari 100 m, dan seluruh permukaannya penuh dengan gundukan batu. Di sana yang tumbuh hanya rumput dan gerumbulan. Pada musim kemarau seperti ini seringkali bukit itu selalu terbakar.

Padahal kata orang-orang tua, bukit itu dulunya berhutan lebat. Banyak pohon buah-buahan yang disukai monyet. Lalu setiap hari orang-orang menebang pohon-pohon itu dan membawanya pulang sebagai kayu bakar. Lama kelamaan bukit itu menjadi gundul sama sekali. Dulu, katanya monyet-monyet juga banyak, tetapi tidak pernah mengganggu. Katanya, tanah tempat bangunan gereja sekarang ini, dulunya penuh dengan pohon dadap yang bunganya disukai monyet.

Sekembali pastor, orang-orang heran. Mengapa ada lima orang yang pagi-pagi sekali sudah naik ke lereng bukit, sambil membawa cangkul, sekop dan linggis. Mereka berlima menggali lubang demi lubang, sampai matahari terbenam. Beberapa orang juga mencoba turun ke balik bukit, lalu menyusuri pinggiran hutan. Mereka mencari-cari, apakah benar masih ada beberapa ekor monyet yang masih tersisa. Sebab ketika kawanan monyet itu sama sekali sudah tidak datang ke gereja, misa justru menjadi sangat sepi. # # #

sastro gantol (Blog Sastra F. Rahardi)

Pagi itu dada Sastro Gantol berdetak agak keras. Dia dipanggil Pak Lurah. Dia harus menghadap ke kantor kelurahan sekitar jam sembilan pagi. Ada salah apa gerangan sampai-sampai manusia seperti dia ini dipanggil Pak Lurah dan sangat mendadak lagi? Begitu pikir Sastro Gantol sepanjang pematang sawah dalam perjalanannya ke kantor kelurahan. Nampak padinya sudah mulai menguning tapi itu tak penting. Nampak kacang panjang yang dia sebar di sepanjang pematang itu sudah beberapa hari ini tak dipetik oleh isterinya hingga pada molor-molor sepanjang kolor celananya. Tapi ini juga kurang begitu dihiraukannya. Ada yang jauh lebih gawat yang kini mesti dia hadapi dengan sepenuh hati. Bagaimana kalau tanah miliknya mesti digusur untuk pabrik atau proyek macam-macam dan dia lalu ditransmigrasikan? Ah, biasanya kalau ada tanah mau digusur orang kampung dikumpulkan di balai desa dan bukannya dipanggil satu-satu begini. Atau jangan-jangan soal pajak? Seingatnya, dia sudah lama melunasi kewajibannya tersebut. Makin dekat dengan kantor kelurahan, hati Sastro Gantol makin tak karuan. Lututnya gemetaran tapi dia kuatkan juga melangkah sembari menyalami seorang Hansip yang bertolakpinggang di depan kantor kelurahan.

“Mari Pak Sastro, bagaimana? Sudah panen?” Sapa Pak Lurah dengan ramah. Hati Sastro Gantol agak kendor disapa Pak Lurah dengan ramah begini. Dia lalu tersenyum.
“Belum Pak. Mungkin minggu depan ini.”
“Syukurlah. Syukur. Bagus kan padinya?”
“Yah, berkat restu Pak Lurah. Bagus Pak.”
“Tidak dimakan tikus kan?”
“Tidak Pak.”
“Syukur. Mudah-mudahan bisa lebih banyak ya panennya tahun ini. Kemarin itu dapat berapa ton?”
“Ala cuma berapa kuintal kemarin itu Pak? Sedikit kok.”
“Yah, tidak apa-apa. Kan lumayan daripada yang tidak punya tanah sedikit pun itu. Sini Pak Sastro. Duduknya dekat sini. Jangan takut-takut.”

Sesuai dengan perintah Pak Lurah, Sastro Gantol lalu duduk mendekat tepat di depan jidat Pak Lurah. Ketakutannya sedikit mereda. Tapi toh dia tidak berani menatap muka si kepala desa tersebut. Pak Lurah mengeluarkan sebungkus rokok dari kantung safarinya. Rokok tersebut dibuka, dilolos sebatang dan disodorkan ke Sastro Gantol. Sambil tersipu-sipu Sastro Gantol menolak tawaran Pak Lurah. Dia lalu merogoh saku celananya dan mengeluarkan kantung plastik yang berisi tembakau, kertas sigaret dan bungkusan cengkih. Sastro Gantol lalu melinting rokok. Kamar kerja Pak Lurah itu lalu jadi hangat berasap. Dan Sastro Gantol jadi agak tenteram hatinya. Setelah mendehem beberapa kali Pak Lurah lalu angkat bicara.

“Begini Pak Sastro. Desa kita ini baru saja dapat surat dari kantor Kabupaten. Isi surat tersebut, kita diminta mengajukan calon untuk pemilihan petani teladan tahun ini. Tahu kan Pak Sastro apa itu petani teladan? Seperti Mas Broto dari desa Ngasem itu?”

“Ya Pak, tahu.”
“Nah, setelah saya berembuk dengan para pamong dan para pemuka desa, kami lalu sepakat untuk menunjuk Pak Sastro untuk kami ajukan sebagai calon petani teladan dari desa kita ini. Bagaimana Pak Sastro?” Dan Sastro Gantol terdiam serta makin menunduk. Petani teladan?

Orang lain barangkali akan melonjak kegirangan menerima kehormatan demikian. Tapi Sastro Gantol tidak. Dia malah jadi gemetaran dan tak tahu mesti bilang bagaimana. Kabar ini jauh lebih mengagetkan daripada yang diduganya semula. Kalau dia dipanggil ke kelurahan untuk dimaki-maki serta dimarahi, barangkali tidak akan sekaget seperti sekarang ini. Sudah biasa rakyat kecil kena semprot penguasa. Tapi kini? Dia mau dicalonkan sebagai petani teladan!

“Kenapa tidak yang lain saja Pak Lurah?”
“Kami sudah memilihnya kesana-kemari, meneliti selama berhari-hari. Tapi tak ada yang cocok. Yang kami pandang, paling tepat untuk kita ajukan hanyalah Pak Sastro. Pertama, kami lihat karena Pak Sastro memang betul-betul petani asli. Sering kan dalam lomba-lomba demikian yang menang bukan petani beneran. Kadang tuan tanah yang mengaku jadi petani, kadang pegawai negeri yang nyambi jadi petani, bahkan pernah ada petani teladan yang ternyata seorang anggota ABRI. Nah Pak Sastro ini petani tulen. Dari kecil sampai gaek begini kan hanya mencangkul melulu kan Pak?”
“Ya Pak, karena mau kerja apalagi?”

“Nah, itulah sebabnya. Lalu pertimbangan kami yang kedua adalah, Pak Sastrolah satu-satunya petani kita yang tersukses. Sawah cuma sepenggal tapi dikerjakan sebaik mungkin hingga cukup untuk dimakan bahkan juga dijual hasilnya. Kebun sekedar yang ada di sekitar rumah, tapi hasilnya macam-macam. Piaraan Pak Sastro juga banyak dan bagus-bagus. Sekarang kambingnya berapa Pak?”

“Ah, tinggal enam Pak.”
“Nah, enam kan? Belum ayamnya, itiknya, kelincinya. Pokoknya Pak Sastrolah calon petani teladan yang paling tepat di desa ini.”

Sastro Gantol pulang dengan lesu. Hatinya enggan untuk ikut teladan-teladanan demikian. Tapi lantaran ini adalah perintah dari pihak yang berwajib maka bisanya Sastro Gantol hanya mengiyakan. Dia lalu siap-siap. Sepulang dari Kantor Kelurahan dia lalu memberi aba-aba pada istri serta anak-anaknya untuk membenahi pekarangan serta rumahnya. Kandang ternak diberesi pagar-pagarnya. Dinding rumah yang barusan dikapur menjelang lebaran tempo hari terpaksa dikapur ulang. Pendek kata seluruh makhluk bernyawa di rumah Sastro Gantol pada sibuk membenahi dirinya. Kambing mesti gemuk agar tuannya nampak pantas menerima gelar teladan. Kelinci tak boleh ada yang kudisan sebab petani teladan tak pernah piara kelinci kudisan. Ayam juga harus bertelur baik-baik sepanjang bulan sebab memang begitulah seharusnya ayam yang dipiara oleh calon petani teladan. Dan lantaran Sastro Gantol belum memiliki kolam ikan, maka sesuai dengan amanat Pak Lurah, dia buru-buru menggali kolam di sudut petakan sawahnya. Supaya kolam tersebut pantas sebagai kolam beneran terpaksalah beberapa ekor ikan mas yang sudah segede paha orang dewasa dilepaskan di sana. Jangan tanya asal-usul ikan tersebut. Pokoknya seorang petani barulah pantas disebut teladan kalaulah sudah melengkapi dirinya dengan kolam ikan yang dipenuhi oleh ikan mas atau gurami segede bantal. Dan hari yang ditunggu-tunggu pun tiba.

Tidak seperti biasanya, pagi itu Sastro Gantol tak boleh pergi ke mana-mana. Ladang yang sudah beberapa hari ini tak sempat didatangi mesti dilupakan sejenak. Dia juga mesti melupakan berita yang datang dari keponakannya di desa sebelah, bahwasannya anak dari si keponakan tersebut sudah dua hari ini panas dingin. Biarlah, toh cuma panas dingin. Kalau meninggal, barulah perlu menyempatkan diri sejenak. Teladan yang dititahkan dari kantor Kelurahan lebih menakutkan daripada cucu keponakan yang panas dingin. Dan Sastro Gantol lalu duduk dengan gelisah di ruang depan rumahnya. Mbok Sastro sudah pula rapi dan menyiapkan minuman serta hidangan sekedarnya sebab mereka faham betul bahwasannya para juri serta petugas lainnya pastilah pada kehausan serta kelaparan lantaran jarang sekali keluyuran sampai ke pelosok begini. Jam sepuluh tepat iring-iringan tamu itu datang. Jip mereka yang tak bisa masuk terpaksa diparkir di sudut kampung dan jadi tontonan anak-anak. Dan mereka pun berjalan berjingkat-jingkat takut kalau-kalau lumpur serta debu mengotori safari mereka.

“Halo Pak Sastro! Apa kabar?”
“Tanya ketua juri dengan nada tinggi. Pak Lurah yang ikut mengiring para tamu itu memperkenalkan masing-masing tamu pada Sastro Gantol. Mereka pun bersalam-salaman dan Sastro Gantol merasakan betapa empuk serta halusnya tangan para tamu itu. Setelah salam-salaman selesai mulailah ketua tim juri itu menginterviu Sastro Gantol. Wartawan yang sedari tadi siap merubung lalu jeprat-jepret dan menyiapkan alat perekamnya untuk menangkap tanya jawab Sastro Gantol dengan ketua tim juri.”

“Ee, begini ya Pak Sastro. Sudah berapa lama Pak Sastro menekuni bidang usaha tani begini?” Tanya sang ketua tim bagai hakim; Sastro Gantol agak gugup menjawab.

“Sudah lama sekali Pak.”
“Sudah berapa tahun?”
“Ya sejak masih kanak-kanak.” Sela Pak Lurah membetulkan jawab Sastro Gantol.

“Ya Pak sejak masih anak.” Jawab Sastro Gantol gelagapan. Jepret, lampu blitz wartawan menyala dan tampang Sastro Gantol pun bakal masuk koran kalau sampai betul-betul terpilih jadi teladan. Pertanyaan pun berlanjut. Mulai dari luas sawah, jumlah ayam, itik, kambing, tanggungan keluarga, berapa pohon jeruknya dan sebagainya. Untung ikhwal nyamuk serta kutu busuk tak ikut terdaftar sebagai pertanyaan hingga Sastro Gantol tak kelabakan menghitung dua makhluk yang sering mengganggu kenyamanan tidurnya itu. Setelah segala macam pertanyaan terjawab dan segala macam hidangan tersantap, kunjungan pun diteruskan dengan peninjauan ke lapangan. Sawah Sastro Gantol dilihat. Kolam yang baru sepekan dibuat dilihat. Dan ikan pinjaman dari Kolam Den Tjondro itupun diserok oleh Mas Hansip. Hasilnya lumayan : sepaha orang dewasa. Pertanyaan pun datang.

“Sudah dipiara berapa lama Pak Sastro ikan mas ini?” Tanya Pak ketua Tim. Sastro Gantol menjawab dengan jujur.

“Kurang tahu itu Pak!
“Lo kan Pak Sastro sendiri kan yang piara?” Kembali Sastro Gantol gelagapan dan Pak Lurah pun kembali turun tangan.
“Itu sih sudah sekitar dua tahunan. Kan ikan induk ini Pak Sastro?”
“Ya, Pak. Itu indukan.”
“Berapa hasil kolam ini setahunnya Pak?”
“Yah, kira-kira sajalah Pak. Maklum orang kampung.”

Dan kegugupan serta gelagapannya Sastro Gantol ini ternyata ditafsirkan keliru oleh para juri, para peninjau serta wartawan yang hadir. Beliau-beliau itu pada mengira bahwasannya Sastro Gantol ini sungguh seorang petani tulen yang tekun dan jujur hingga sering gelagapan menjawab pertanyaan juri. Dan tak ayal lagi, keputusan pun jatuhlah sudah. Sastro Gantol terpilih sebagai petani teladan tingkat kabupaten dengan nilai tigaribu empat ratus duapuluh tujuh setengah. Dia bisa terpilih dengan suara bulat sebab selisih nilainya sangat menyolok bila dibanding dengan rengking di bawahnya. Hadiah pun datang dalam bentuk alat semprot, lampu petromak, radio transistor dan macam-macam lagi semuanya dari para sponsor. Tapi kisah si Sastro Gantol ternyata tidak hanya cukup sampai di sini.

Dengan kemenangan sebagai petani teladan tingkat kabupaten, Sastro Gantol mesti lebih giat lagi menyiapkan seluruh diri serta perangkatnya untuk menghadapi pemilihan serta penilaian petani teladan tingkat propinsi. Ini lebih berat. Itulah sebabnya si Sastro Gantol mesti lebih rapi lagi dipoles agar tak memalukan kalau ada tim dari propinsi yang pada datang. Jalan desa yang sempit menuju ke rumahnya terpaksa dilebarkan dengan mengorbankan beberapa batang pohon randu dan kelapa. Maksudnya agar jip para penilai bisa langsung parkir di halaman rumah Sastro Gantol hingga tak menjadi tontonan anak-anak seperti pada penilaian tempo hari. Kolam Sastro Gantol juga mesti lebih diperluas lagi dan isinya juga mesti ditambah dengan beberapa ekor gurami. Semuanya sudah diurus dan diatur oleh aparat Pak Lurah. Pokoknya sebagai seorang petani teladan, Sastro Gantol tinggal bilang ya dan ya saja.

Syahdan, sekian bulan kemudian, Sastro Gantol yang lugu dan penakut itu sudah bisa berubah 180 derajat. Soalnya dia bisa lolos jadi petani teladan tingkat propinsi dan selanjutnya tingkat nasional. Ini bukan main-main lagi. Dia mesti menyiapkan diri untuk pergi ke Jakarta dan ketemu Presiden di Istana Merdeka pada acara tujuhbelasan. Dia juga mesti menghapal apa saja yang mesti dikatakan pada para wartawan dan pejabat pemerintah. Dia juga mesti bisa ngomong Bahasa Indonesia dengan agak lebih rapi dan bukannya bahasa Jawa Hantam Kromo seperti biasanya. Berhari-hari Sastro Gantol perang melawan dirinya sendiri. Bisakah dia main sandiwara beginian? Celana bagus sudah dijahit. Baju batik sudah disiapkan. Stelan safari seperti yang lazim dikenakan Pak Lurah juga sudah ada entah asalnya dari mana. Tapi hati Sastro Gantol makin kecut saja. Dia ingin sekali kembali bergaul dengan lumpur di sawahnya. Dia ingin menggiring kambingnya ke ladang dan dia ingin betul bisa bebas dari tetek-bengek urusan teladan demikian. Soalnya semenjak dirinya ditahbiskan sebagai petani teladan, seharian kerjanya cuma ngurusi wartawan, pejabat pemerintah serta tamu-tamu lain yang sehari kadang berjumlah sampai puluhan. Sawah cuma ditengok oleh anaknya dan dipercayakan pada menantunya. Dan yang paling mengganggu sanubarinya adalah perihal meninggalnya si cucu keponakan. Cucu keponakan yang gendut dan lucu itu. Yang kalau dia datang suka bergayut di lengannya itu. Sekarang sudah tak ada lagi. Dan yang lebih mengganggu benaknya adalah dia tak sempat lagi datang melayat serta ikut mengantar ke kuburan. Pas hari naas itu dia mesti datang ke Kantor Gubernuran untuk menerima hadiah. Mau apalagi?

Tanpa terasa lagi tanggal tujuhbelas Agustus kian dekat-dekat saja. Orang-orang pada sibuk bikin gapura. Mereka juga menyiapkan perayaan sekedarnya berupa tontonan ketoprak serta drama remaja di desa masing-masing. Sastro Gantol makin keras bertarung melawan dirinya sendiri. Istrinya mulai sakit-sakitan lantaran kecapaian melayani para tamu yang silih bergantian datangnya. Makin lama sakitnya makin keras. Dan tepat menjelang tanggal keberangkatannya si istri tak bisa bangun lagi dari tempat tidur. Sastro Gantol segera ambil keputusan.

“Aku batalkan saja mbokne!”
“Apanya Pak yang dibatalkan?”
“Aku tidak usah jadi pergi ke Jakarta”.
“Hush! Itu kan menentang pemerintah!”
“Tapi kau kan lagi sakit begini? Bagaimana kalau begitu aku pergi kau lalu mati?”
“Ah, jangan bilang begitu. Aku kan hanya masuk angin saja. Jangan dibatalkan Pakne!”

“Tidak. Aku tak mau seperti tempo hari. Aku ke kantor Gubernuran pesta-pesta tapi cucuku yang gendut mati dan tak sempat kuantar ke kuburnya. Aku sedih sekali kalau ingat ini. Tidak mbokne!”
“Yah terserah kamulah”.

Tapi Pak Lurah jelas punya pendapat lain. Sastro Gantol mesti berangkat ke Jakarta dan salaman sama Presiden. Itu artinya desanya bakal pula kecipratan nama harum. Sastro Gantol mesti pergi juga walau istrinya sakit. Soal hidup jelas sudah menjadi urusan Tuhan. Tapi masalah teladan? Itu tak bisa diserahkan begitu saja padaNya. Bagaimanapun juga Sastro Gantol mesti dipaksa berangkat. Kalau perlu mesti pakai diancam segala.

“Kamu mesti berangkat Pak Sastro. Soal mbok Sastro yang sakit biarlah kami seluruh kampung yang mengurusnya. Pak Sastro mengemban tugas negara. Pak Sastro sudah bukan milik Mbok Sastro. Pak Sastro sudah menjadi teladan seluruh petani di negeri ini”.

“Tapi apa saya sih Pak yang mau diteladani? Bukankah saya ini petani biasa saja seperti yang lain-lain itu?”

“Lho tapi kan Pak Sastro sudah lolos di tingkat Kabupaten serta Propinsi? Bukankah para juri itu orang yang pintar-pintar?”

“Yah, tapi hati saya berat Pak untuk meninggalkan istri yang sakit begini”.
“Jangan takut. Nanti kami panggilkan dokter atau mantri suntik. Kalau perlu mbok Sastro diopname saja di rumahsakit”.

“Ah jangan Pak. Biarlah kalau mau mati biar mati di rumah saja. Payah nanti kalau sampai mati di sana. Ongkos ambulannya saja berapa Pak Lurah?”
“Lho, itu nanti jadi tanggungan desa. Pokoknya Pak Sastro mesti berangkat”.

Sastro Gantol betul jadi naik pesawat terbang ke ibukota. Di sana dia disorot lampu teve. Mukanya juga muncul di layar teve di desanya. Orang sekampung pada menyoraki serta mengelu-elukannya. Dia juga ketemu dengan para teladan yang lain. Mulai dari guru teladan, murid teladan, dokter teladan. Sayang dia tidak menjumpai tukang cukur atau tentara teladan. Apakah memang tak pernah diadakan pilihan keteladanan di kalangan mereka? Tapi Sastro Gantol, tak sempat menanyakan hal ini pada panitia. Dia lebih sibuk menjaga dirinya agar jangan sampai melakukan kesalahan yang fatal di ibukota. Kalau ada wartawan atau pejabat yang bertanya dia selalu menjawabnya sesuai dengan perintah Pak Lurah. Dan dia juga selalu memikirkan istrinya yang tergolek sakit-sakitan di rumah. Hadiah pun lalu dibagikan. Sastro Gantol menerima uang jutaan rupiah dalam bentuk Tabanas. Dia juga menerima teve berwarna dan lain-lain. Dia pulang dengan memboyong segala macam hadiah itu. Dia ingin sekali menunjukkan semua itu pada istrinya yang sangat dicintainya. Tapi begitu kakinya menginjak palang pintu, anaknya datang menghamburkan tangis sembari memeluknya erat.

“Simbok sudah tidak ada Pak!” Jerit anaknya di sela isak tangis. Sastro Gantol hanya diam dan tertegun. Dia menengok ke dapur. Di sana memang tak ada lagi istrinya yang biasa duduk di muka tungku. Yang ada hanyalah para tetangga serta famili yang masih sibuk menyiapkan selamatan tiga harian. Dengan lesu Sastro Gantol melemparkan tasnya serta kopernya ke amben bambu. Dilepas baju batik serta celana panjangnya. Sepatuya juga dia lemparkan entah kemana. Kini dia hanya berkaos oblong dan berkain sarung. Dia duduk di kursi tengah lalu bertanya pada orang yang mengerumuninya.

“Kapan embokmu tidak ada?” Dan sebelum orang-orang menjawabnya, Sastro Gantol-pun menangis sekeras-kerasnya. Dia muntahkan segala yang sudah terlanjur ditelannya selama ini. Dia tidak pernah merasa dirinya sebagai teladan. ***

ALBERT EINSTEIN

(dalam buku ALBERT EINSTEIN pakar fisika eksentrik yang teori relativitasnya mengubah pandangan tentang alam semesta)

PERISTIWA – PERISTIWA PENTING ;

1879 – 14 maret ; Einstein dilahirkan di Ulm . jerman

1880                ; keluarga einstein pindah ke Munich

1884 ; Einstein diberi hadiah sebiah kompas saku (ini pengalaman pertama yang menarikminatnya kedunia ilmiah)
1981 ; pada usia 12th , einstein diberi buku geometri (ini pengalaman kedua yang semakin membangkitkan minatnya tuk menyingkap rahasia-rahasia alam.)

1894 ; keluarga einstein pindak ke italia , Albert einstein yang masih bersekolah ditinggalkan di Munich , namun masih dalam tahun yang sama , ia meninggal kan sekolahnya sebelum tamat dan bergabung dengan keluarganya.

1895 ; Einstein mengikuti ujian masuk ke Institut Teknologi Zurich di Swiss tapi gagal. karna itu ia belajar lagi di SMA Aarau Swiss

1896 ; dalam usia 17th Einstein menanggalkan kewarganegaraan Jerman-nya. ia diterima di Institut Teknologi Zurich dan mulai belajar disana.

1900 ; Einstein lulus dari Institut Teknologi Zurich  danmulai mencari pekerjaaan. karya tulisnya yg pertama diterbitkan.

1901 ; ia diterima menjadi warganegara Swiss pada usia 22 tahun

1902 ; mulai bekerja dijawatan Paten , Bern , Swiss

1903 ; 6 januari Einstein menikah dengan Mileva Marich

1904 ; 14 mei putera pertama lahir ; Hans Albert

1905 ; Einstein menyelesaikan thesis PhD dan menerbitlam beberapa makalah termasuk dua membahas Relativitas Khusus. salah satunya berisi persamaan yang terkenal E = mc2

1906 ; ia menulis makalah pertama didunia tentang Mekanika Kuantum. selama hampir  2 tahun kemudian gagasan ilmiah yang baru dan murni terus mengalir dalam berbagai bentuk jurnal ilmiah

1909 ; mengundurkan diri dari Jawatan Paten karna menerima jabatan asisten profesor di Univ. Zurich

1910 ; 28 juli putera kedua lahir “Einstein Eduard”

1911 ; einstein diangkat menjadi prof. di univ. Praha, Cekoslovakia. ia meramalkan bahwa pembelokan cahaya dapat diamati selama gerhana matahari.

1912 ; Einstein sekarang 33 th . ia kembali ke Institut Teknologi Zurich  untuk menjabat profesor penuh disitu bersama Marcel Groosman ia mengembangkan teori Relativitas Umum

1914 ;  einstein berikut istri dan anak-anaknya pindah ke Berlin karna menerima jabatan profrsor di univ. Berlin. akan tetapi Mileva berpisah dari Einstein dan kembali ke Zurich bersama kedua anaknya

1915 ; einstein menandatangani “Manifesto Eropa” dan mengusulkan didirikannya sebuah Liga Eropa tik mengupayakan perdamaian diantara bangsa-bangsa disitu.

1917 ; sepupunya Elsa , merawatnya sampai sehat ketika einstein jatuh sakit akibat kelelahan . ia menjabat direktur Institut Kaiser wikhelm sebuah lembaga penelitian di Berlin.

1919 ; kesibukan nya salama setahun ini adalah berceramah keliling eropa. ia menceraikan Mileva dan menikah dengan Elsa. pada tahun ini juga ia mulai berhubungan dengan para tokoh Zionisme

1920 ; demontrasi anti-Einstein terjadi di Berlin digerakan oleh golongan anti-yahudi . dalam tahun yang sama Einstein menerima sejumlah penghargaan internasional atas karya ilmiahnya.

1922 ; Einstein diterima sebgai anggota Komite Kerjasama Ilmiah pada Liga Bangsa-Bangsa. ia juga menerima hasiah nobel 1921 untuk bid. fisika

1924 ; Einstein mendaftarkan diri sebagai anggota Masyarakat Yahudi Berlin.

1925 ; Einstein melakukan perjalanan keliling dunia untik berceramah baik dalam bidang ilmiah maupun untuk kepentingan perdamaian. ia menerbitkan karya ilmiah lainnya bersama Mahatma Ghandi dan sejumlah tokoh lain ia menandatangani manifesto penghapusan dinas militer secara paksa

1929 ; medali planck -salah satu penghargaan paling tinggi untuk fisika diserahkan kepada Einstein .ia berumur 50 tahun

1930 ; ia menandatangani manifesto yg menyerukan perlucutan senjata dunia

1932 ; Einstein diangkat menjadi profesor di Institut Pascasarjana di Princeton , AS. ia meninggalkan jerman untuk selama-lamanya.

1933 ; Einstein kembali ke eropa dan tinggal dibawah perlindungan kepolisian Belgia guna membantu upaya pelarian keluarga dan pembantu2 dekatnya di Jerman . 17 oktober Einstein dan keluarga berlayar ke AS

1936 ; Elsa meninggal dunia di Amerika

1939 ; adik Einstein , Maya . datang dan bergabung dengan nya setelah berhasil lari dari kaum fasis italia. Einstein mengusulkan kepada Presiden AS Roosevelt mengenai kemungkinan pengembangan senjata nuklir.

1940 ; Einstein menjadi warganegara AS walaupun tetap mempertahankan kewarganegaraan swiss.

1943 ; ia diangkat sebagai penasehat ahli untuk urusan persenjataan di AL di AS

1946 ; ia mendesak PBB membentuk Pemerintahan Dunia guna mencegah peperangan dimasa mendatang

1948 ; einstein jatuk sakit dan menurut diagnosis kondisinya bisa fatal

1952 ; ia ditawari jabatan Presiden Negara Israel tapi ditolaknya.

1955 ; walau sakit payah , ia terus berkampanye untuk menghapuskan sejata nuklir dan tidak pernah menghentikan peneliatian nya .18 april 1955 ; Einstein meninggal dunia dalam usia 76 tahun

PADANG BULAN – CINTA DALAM GELAS

.PADANG BULAN – CINTA DALAM GELAS (andrea hirata)

PADANG BULAN menceritakan Enong yang bertekad untuk belajar bahasa Inggris dengan ikut kursus di Tanjong Pandan. Enong tahu, umurnya akan menjadi tantangan paling besar karena dia harus bersaing dengan anak-anak muda.

Sementara itu, Ikal terpukul oleh penolakan ayahnya. Cintanya kepada A Ling sudah bulat, namun ternyata ayahnya menolak mentah-mentah. Sementara, A Ling juga entah di mana. Akibatnya, Ikal merasa otaknya sedikit terganggu dan memutuskan untuk mencari pekerjaan ke Jakarta, menjadi pegawai berseragam yang memiliki uang pensiun seperti yang diinginkan ayah dan ibunya.

Tepat sebelum nakhoda kapal mengangkat sauh, Ikal berubah pikiran. Ada yang belum tuntas ia selesaikan. Ia harus kalahkan Zinar dalam tanding catur!

CINTA DI DALAM GELAS bertutur tentang tugas berat di pundak Ikal. Dia harus membantu Maryamah memenangkan pertandingan catur saat 17 Agustus nanti. Maryamah, yang menyentuh bidak catur saja belum pernah, harus mengalahkan juara catur selama dua tahun berturut-turut yang sekaligus juga mantan suaminya. Namun, lebih dari itu, jenis kelamin Maryamah menjadi tantangan berat untuk bisa mencebur ke dalam pertandingan penuh harkat bagi kaum lelaki ini.

Bagi penonton yang pro maupun kontra, usaha Maryamah jelas sebuah suguhan yang sangat menarik. Begitu pulakah dengan Maryamah?

padang bulan – 245 halaman

cinta daam gelas -270 halaman

penerbit; Bentang