sastro gantol (Blog Sastra F. Rahardi)

Pagi itu dada Sastro Gantol berdetak agak keras. Dia dipanggil Pak Lurah. Dia harus menghadap ke kantor kelurahan sekitar jam sembilan pagi. Ada salah apa gerangan sampai-sampai manusia seperti dia ini dipanggil Pak Lurah dan sangat mendadak lagi? Begitu pikir Sastro Gantol sepanjang pematang sawah dalam perjalanannya ke kantor kelurahan. Nampak padinya sudah mulai menguning tapi itu tak penting. Nampak kacang panjang yang dia sebar di sepanjang pematang itu sudah beberapa hari ini tak dipetik oleh isterinya hingga pada molor-molor sepanjang kolor celananya. Tapi ini juga kurang begitu dihiraukannya. Ada yang jauh lebih gawat yang kini mesti dia hadapi dengan sepenuh hati. Bagaimana kalau tanah miliknya mesti digusur untuk pabrik atau proyek macam-macam dan dia lalu ditransmigrasikan? Ah, biasanya kalau ada tanah mau digusur orang kampung dikumpulkan di balai desa dan bukannya dipanggil satu-satu begini. Atau jangan-jangan soal pajak? Seingatnya, dia sudah lama melunasi kewajibannya tersebut. Makin dekat dengan kantor kelurahan, hati Sastro Gantol makin tak karuan. Lututnya gemetaran tapi dia kuatkan juga melangkah sembari menyalami seorang Hansip yang bertolakpinggang di depan kantor kelurahan.

“Mari Pak Sastro, bagaimana? Sudah panen?” Sapa Pak Lurah dengan ramah. Hati Sastro Gantol agak kendor disapa Pak Lurah dengan ramah begini. Dia lalu tersenyum.
“Belum Pak. Mungkin minggu depan ini.”
“Syukurlah. Syukur. Bagus kan padinya?”
“Yah, berkat restu Pak Lurah. Bagus Pak.”
“Tidak dimakan tikus kan?”
“Tidak Pak.”
“Syukur. Mudah-mudahan bisa lebih banyak ya panennya tahun ini. Kemarin itu dapat berapa ton?”
“Ala cuma berapa kuintal kemarin itu Pak? Sedikit kok.”
“Yah, tidak apa-apa. Kan lumayan daripada yang tidak punya tanah sedikit pun itu. Sini Pak Sastro. Duduknya dekat sini. Jangan takut-takut.”

Sesuai dengan perintah Pak Lurah, Sastro Gantol lalu duduk mendekat tepat di depan jidat Pak Lurah. Ketakutannya sedikit mereda. Tapi toh dia tidak berani menatap muka si kepala desa tersebut. Pak Lurah mengeluarkan sebungkus rokok dari kantung safarinya. Rokok tersebut dibuka, dilolos sebatang dan disodorkan ke Sastro Gantol. Sambil tersipu-sipu Sastro Gantol menolak tawaran Pak Lurah. Dia lalu merogoh saku celananya dan mengeluarkan kantung plastik yang berisi tembakau, kertas sigaret dan bungkusan cengkih. Sastro Gantol lalu melinting rokok. Kamar kerja Pak Lurah itu lalu jadi hangat berasap. Dan Sastro Gantol jadi agak tenteram hatinya. Setelah mendehem beberapa kali Pak Lurah lalu angkat bicara.

“Begini Pak Sastro. Desa kita ini baru saja dapat surat dari kantor Kabupaten. Isi surat tersebut, kita diminta mengajukan calon untuk pemilihan petani teladan tahun ini. Tahu kan Pak Sastro apa itu petani teladan? Seperti Mas Broto dari desa Ngasem itu?”

“Ya Pak, tahu.”
“Nah, setelah saya berembuk dengan para pamong dan para pemuka desa, kami lalu sepakat untuk menunjuk Pak Sastro untuk kami ajukan sebagai calon petani teladan dari desa kita ini. Bagaimana Pak Sastro?” Dan Sastro Gantol terdiam serta makin menunduk. Petani teladan?

Orang lain barangkali akan melonjak kegirangan menerima kehormatan demikian. Tapi Sastro Gantol tidak. Dia malah jadi gemetaran dan tak tahu mesti bilang bagaimana. Kabar ini jauh lebih mengagetkan daripada yang diduganya semula. Kalau dia dipanggil ke kelurahan untuk dimaki-maki serta dimarahi, barangkali tidak akan sekaget seperti sekarang ini. Sudah biasa rakyat kecil kena semprot penguasa. Tapi kini? Dia mau dicalonkan sebagai petani teladan!

“Kenapa tidak yang lain saja Pak Lurah?”
“Kami sudah memilihnya kesana-kemari, meneliti selama berhari-hari. Tapi tak ada yang cocok. Yang kami pandang, paling tepat untuk kita ajukan hanyalah Pak Sastro. Pertama, kami lihat karena Pak Sastro memang betul-betul petani asli. Sering kan dalam lomba-lomba demikian yang menang bukan petani beneran. Kadang tuan tanah yang mengaku jadi petani, kadang pegawai negeri yang nyambi jadi petani, bahkan pernah ada petani teladan yang ternyata seorang anggota ABRI. Nah Pak Sastro ini petani tulen. Dari kecil sampai gaek begini kan hanya mencangkul melulu kan Pak?”
“Ya Pak, karena mau kerja apalagi?”

“Nah, itulah sebabnya. Lalu pertimbangan kami yang kedua adalah, Pak Sastrolah satu-satunya petani kita yang tersukses. Sawah cuma sepenggal tapi dikerjakan sebaik mungkin hingga cukup untuk dimakan bahkan juga dijual hasilnya. Kebun sekedar yang ada di sekitar rumah, tapi hasilnya macam-macam. Piaraan Pak Sastro juga banyak dan bagus-bagus. Sekarang kambingnya berapa Pak?”

“Ah, tinggal enam Pak.”
“Nah, enam kan? Belum ayamnya, itiknya, kelincinya. Pokoknya Pak Sastrolah calon petani teladan yang paling tepat di desa ini.”

Sastro Gantol pulang dengan lesu. Hatinya enggan untuk ikut teladan-teladanan demikian. Tapi lantaran ini adalah perintah dari pihak yang berwajib maka bisanya Sastro Gantol hanya mengiyakan. Dia lalu siap-siap. Sepulang dari Kantor Kelurahan dia lalu memberi aba-aba pada istri serta anak-anaknya untuk membenahi pekarangan serta rumahnya. Kandang ternak diberesi pagar-pagarnya. Dinding rumah yang barusan dikapur menjelang lebaran tempo hari terpaksa dikapur ulang. Pendek kata seluruh makhluk bernyawa di rumah Sastro Gantol pada sibuk membenahi dirinya. Kambing mesti gemuk agar tuannya nampak pantas menerima gelar teladan. Kelinci tak boleh ada yang kudisan sebab petani teladan tak pernah piara kelinci kudisan. Ayam juga harus bertelur baik-baik sepanjang bulan sebab memang begitulah seharusnya ayam yang dipiara oleh calon petani teladan. Dan lantaran Sastro Gantol belum memiliki kolam ikan, maka sesuai dengan amanat Pak Lurah, dia buru-buru menggali kolam di sudut petakan sawahnya. Supaya kolam tersebut pantas sebagai kolam beneran terpaksalah beberapa ekor ikan mas yang sudah segede paha orang dewasa dilepaskan di sana. Jangan tanya asal-usul ikan tersebut. Pokoknya seorang petani barulah pantas disebut teladan kalaulah sudah melengkapi dirinya dengan kolam ikan yang dipenuhi oleh ikan mas atau gurami segede bantal. Dan hari yang ditunggu-tunggu pun tiba.

Tidak seperti biasanya, pagi itu Sastro Gantol tak boleh pergi ke mana-mana. Ladang yang sudah beberapa hari ini tak sempat didatangi mesti dilupakan sejenak. Dia juga mesti melupakan berita yang datang dari keponakannya di desa sebelah, bahwasannya anak dari si keponakan tersebut sudah dua hari ini panas dingin. Biarlah, toh cuma panas dingin. Kalau meninggal, barulah perlu menyempatkan diri sejenak. Teladan yang dititahkan dari kantor Kelurahan lebih menakutkan daripada cucu keponakan yang panas dingin. Dan Sastro Gantol lalu duduk dengan gelisah di ruang depan rumahnya. Mbok Sastro sudah pula rapi dan menyiapkan minuman serta hidangan sekedarnya sebab mereka faham betul bahwasannya para juri serta petugas lainnya pastilah pada kehausan serta kelaparan lantaran jarang sekali keluyuran sampai ke pelosok begini. Jam sepuluh tepat iring-iringan tamu itu datang. Jip mereka yang tak bisa masuk terpaksa diparkir di sudut kampung dan jadi tontonan anak-anak. Dan mereka pun berjalan berjingkat-jingkat takut kalau-kalau lumpur serta debu mengotori safari mereka.

“Halo Pak Sastro! Apa kabar?”
“Tanya ketua juri dengan nada tinggi. Pak Lurah yang ikut mengiring para tamu itu memperkenalkan masing-masing tamu pada Sastro Gantol. Mereka pun bersalam-salaman dan Sastro Gantol merasakan betapa empuk serta halusnya tangan para tamu itu. Setelah salam-salaman selesai mulailah ketua tim juri itu menginterviu Sastro Gantol. Wartawan yang sedari tadi siap merubung lalu jeprat-jepret dan menyiapkan alat perekamnya untuk menangkap tanya jawab Sastro Gantol dengan ketua tim juri.”

“Ee, begini ya Pak Sastro. Sudah berapa lama Pak Sastro menekuni bidang usaha tani begini?” Tanya sang ketua tim bagai hakim; Sastro Gantol agak gugup menjawab.

“Sudah lama sekali Pak.”
“Sudah berapa tahun?”
“Ya sejak masih kanak-kanak.” Sela Pak Lurah membetulkan jawab Sastro Gantol.

“Ya Pak sejak masih anak.” Jawab Sastro Gantol gelagapan. Jepret, lampu blitz wartawan menyala dan tampang Sastro Gantol pun bakal masuk koran kalau sampai betul-betul terpilih jadi teladan. Pertanyaan pun berlanjut. Mulai dari luas sawah, jumlah ayam, itik, kambing, tanggungan keluarga, berapa pohon jeruknya dan sebagainya. Untung ikhwal nyamuk serta kutu busuk tak ikut terdaftar sebagai pertanyaan hingga Sastro Gantol tak kelabakan menghitung dua makhluk yang sering mengganggu kenyamanan tidurnya itu. Setelah segala macam pertanyaan terjawab dan segala macam hidangan tersantap, kunjungan pun diteruskan dengan peninjauan ke lapangan. Sawah Sastro Gantol dilihat. Kolam yang baru sepekan dibuat dilihat. Dan ikan pinjaman dari Kolam Den Tjondro itupun diserok oleh Mas Hansip. Hasilnya lumayan : sepaha orang dewasa. Pertanyaan pun datang.

“Sudah dipiara berapa lama Pak Sastro ikan mas ini?” Tanya Pak ketua Tim. Sastro Gantol menjawab dengan jujur.

“Kurang tahu itu Pak!
“Lo kan Pak Sastro sendiri kan yang piara?” Kembali Sastro Gantol gelagapan dan Pak Lurah pun kembali turun tangan.
“Itu sih sudah sekitar dua tahunan. Kan ikan induk ini Pak Sastro?”
“Ya, Pak. Itu indukan.”
“Berapa hasil kolam ini setahunnya Pak?”
“Yah, kira-kira sajalah Pak. Maklum orang kampung.”

Dan kegugupan serta gelagapannya Sastro Gantol ini ternyata ditafsirkan keliru oleh para juri, para peninjau serta wartawan yang hadir. Beliau-beliau itu pada mengira bahwasannya Sastro Gantol ini sungguh seorang petani tulen yang tekun dan jujur hingga sering gelagapan menjawab pertanyaan juri. Dan tak ayal lagi, keputusan pun jatuhlah sudah. Sastro Gantol terpilih sebagai petani teladan tingkat kabupaten dengan nilai tigaribu empat ratus duapuluh tujuh setengah. Dia bisa terpilih dengan suara bulat sebab selisih nilainya sangat menyolok bila dibanding dengan rengking di bawahnya. Hadiah pun datang dalam bentuk alat semprot, lampu petromak, radio transistor dan macam-macam lagi semuanya dari para sponsor. Tapi kisah si Sastro Gantol ternyata tidak hanya cukup sampai di sini.

Dengan kemenangan sebagai petani teladan tingkat kabupaten, Sastro Gantol mesti lebih giat lagi menyiapkan seluruh diri serta perangkatnya untuk menghadapi pemilihan serta penilaian petani teladan tingkat propinsi. Ini lebih berat. Itulah sebabnya si Sastro Gantol mesti lebih rapi lagi dipoles agar tak memalukan kalau ada tim dari propinsi yang pada datang. Jalan desa yang sempit menuju ke rumahnya terpaksa dilebarkan dengan mengorbankan beberapa batang pohon randu dan kelapa. Maksudnya agar jip para penilai bisa langsung parkir di halaman rumah Sastro Gantol hingga tak menjadi tontonan anak-anak seperti pada penilaian tempo hari. Kolam Sastro Gantol juga mesti lebih diperluas lagi dan isinya juga mesti ditambah dengan beberapa ekor gurami. Semuanya sudah diurus dan diatur oleh aparat Pak Lurah. Pokoknya sebagai seorang petani teladan, Sastro Gantol tinggal bilang ya dan ya saja.

Syahdan, sekian bulan kemudian, Sastro Gantol yang lugu dan penakut itu sudah bisa berubah 180 derajat. Soalnya dia bisa lolos jadi petani teladan tingkat propinsi dan selanjutnya tingkat nasional. Ini bukan main-main lagi. Dia mesti menyiapkan diri untuk pergi ke Jakarta dan ketemu Presiden di Istana Merdeka pada acara tujuhbelasan. Dia juga mesti menghapal apa saja yang mesti dikatakan pada para wartawan dan pejabat pemerintah. Dia juga mesti bisa ngomong Bahasa Indonesia dengan agak lebih rapi dan bukannya bahasa Jawa Hantam Kromo seperti biasanya. Berhari-hari Sastro Gantol perang melawan dirinya sendiri. Bisakah dia main sandiwara beginian? Celana bagus sudah dijahit. Baju batik sudah disiapkan. Stelan safari seperti yang lazim dikenakan Pak Lurah juga sudah ada entah asalnya dari mana. Tapi hati Sastro Gantol makin kecut saja. Dia ingin sekali kembali bergaul dengan lumpur di sawahnya. Dia ingin menggiring kambingnya ke ladang dan dia ingin betul bisa bebas dari tetek-bengek urusan teladan demikian. Soalnya semenjak dirinya ditahbiskan sebagai petani teladan, seharian kerjanya cuma ngurusi wartawan, pejabat pemerintah serta tamu-tamu lain yang sehari kadang berjumlah sampai puluhan. Sawah cuma ditengok oleh anaknya dan dipercayakan pada menantunya. Dan yang paling mengganggu sanubarinya adalah perihal meninggalnya si cucu keponakan. Cucu keponakan yang gendut dan lucu itu. Yang kalau dia datang suka bergayut di lengannya itu. Sekarang sudah tak ada lagi. Dan yang lebih mengganggu benaknya adalah dia tak sempat lagi datang melayat serta ikut mengantar ke kuburan. Pas hari naas itu dia mesti datang ke Kantor Gubernuran untuk menerima hadiah. Mau apalagi?

Tanpa terasa lagi tanggal tujuhbelas Agustus kian dekat-dekat saja. Orang-orang pada sibuk bikin gapura. Mereka juga menyiapkan perayaan sekedarnya berupa tontonan ketoprak serta drama remaja di desa masing-masing. Sastro Gantol makin keras bertarung melawan dirinya sendiri. Istrinya mulai sakit-sakitan lantaran kecapaian melayani para tamu yang silih bergantian datangnya. Makin lama sakitnya makin keras. Dan tepat menjelang tanggal keberangkatannya si istri tak bisa bangun lagi dari tempat tidur. Sastro Gantol segera ambil keputusan.

“Aku batalkan saja mbokne!”
“Apanya Pak yang dibatalkan?”
“Aku tidak usah jadi pergi ke Jakarta”.
“Hush! Itu kan menentang pemerintah!”
“Tapi kau kan lagi sakit begini? Bagaimana kalau begitu aku pergi kau lalu mati?”
“Ah, jangan bilang begitu. Aku kan hanya masuk angin saja. Jangan dibatalkan Pakne!”

“Tidak. Aku tak mau seperti tempo hari. Aku ke kantor Gubernuran pesta-pesta tapi cucuku yang gendut mati dan tak sempat kuantar ke kuburnya. Aku sedih sekali kalau ingat ini. Tidak mbokne!”
“Yah terserah kamulah”.

Tapi Pak Lurah jelas punya pendapat lain. Sastro Gantol mesti berangkat ke Jakarta dan salaman sama Presiden. Itu artinya desanya bakal pula kecipratan nama harum. Sastro Gantol mesti pergi juga walau istrinya sakit. Soal hidup jelas sudah menjadi urusan Tuhan. Tapi masalah teladan? Itu tak bisa diserahkan begitu saja padaNya. Bagaimanapun juga Sastro Gantol mesti dipaksa berangkat. Kalau perlu mesti pakai diancam segala.

“Kamu mesti berangkat Pak Sastro. Soal mbok Sastro yang sakit biarlah kami seluruh kampung yang mengurusnya. Pak Sastro mengemban tugas negara. Pak Sastro sudah bukan milik Mbok Sastro. Pak Sastro sudah menjadi teladan seluruh petani di negeri ini”.

“Tapi apa saya sih Pak yang mau diteladani? Bukankah saya ini petani biasa saja seperti yang lain-lain itu?”

“Lho tapi kan Pak Sastro sudah lolos di tingkat Kabupaten serta Propinsi? Bukankah para juri itu orang yang pintar-pintar?”

“Yah, tapi hati saya berat Pak untuk meninggalkan istri yang sakit begini”.
“Jangan takut. Nanti kami panggilkan dokter atau mantri suntik. Kalau perlu mbok Sastro diopname saja di rumahsakit”.

“Ah jangan Pak. Biarlah kalau mau mati biar mati di rumah saja. Payah nanti kalau sampai mati di sana. Ongkos ambulannya saja berapa Pak Lurah?”
“Lho, itu nanti jadi tanggungan desa. Pokoknya Pak Sastro mesti berangkat”.

Sastro Gantol betul jadi naik pesawat terbang ke ibukota. Di sana dia disorot lampu teve. Mukanya juga muncul di layar teve di desanya. Orang sekampung pada menyoraki serta mengelu-elukannya. Dia juga ketemu dengan para teladan yang lain. Mulai dari guru teladan, murid teladan, dokter teladan. Sayang dia tidak menjumpai tukang cukur atau tentara teladan. Apakah memang tak pernah diadakan pilihan keteladanan di kalangan mereka? Tapi Sastro Gantol, tak sempat menanyakan hal ini pada panitia. Dia lebih sibuk menjaga dirinya agar jangan sampai melakukan kesalahan yang fatal di ibukota. Kalau ada wartawan atau pejabat yang bertanya dia selalu menjawabnya sesuai dengan perintah Pak Lurah. Dan dia juga selalu memikirkan istrinya yang tergolek sakit-sakitan di rumah. Hadiah pun lalu dibagikan. Sastro Gantol menerima uang jutaan rupiah dalam bentuk Tabanas. Dia juga menerima teve berwarna dan lain-lain. Dia pulang dengan memboyong segala macam hadiah itu. Dia ingin sekali menunjukkan semua itu pada istrinya yang sangat dicintainya. Tapi begitu kakinya menginjak palang pintu, anaknya datang menghamburkan tangis sembari memeluknya erat.

“Simbok sudah tidak ada Pak!” Jerit anaknya di sela isak tangis. Sastro Gantol hanya diam dan tertegun. Dia menengok ke dapur. Di sana memang tak ada lagi istrinya yang biasa duduk di muka tungku. Yang ada hanyalah para tetangga serta famili yang masih sibuk menyiapkan selamatan tiga harian. Dengan lesu Sastro Gantol melemparkan tasnya serta kopernya ke amben bambu. Dilepas baju batik serta celana panjangnya. Sepatuya juga dia lemparkan entah kemana. Kini dia hanya berkaos oblong dan berkain sarung. Dia duduk di kursi tengah lalu bertanya pada orang yang mengerumuninya.

“Kapan embokmu tidak ada?” Dan sebelum orang-orang menjawabnya, Sastro Gantol-pun menangis sekeras-kerasnya. Dia muntahkan segala yang sudah terlanjur ditelannya selama ini. Dia tidak pernah merasa dirinya sebagai teladan. ***

Tinggalkan komentar