Blog Sastra F. Rahardi SEKAWANAN MONYET

Cerpen F. Rahardi

Gereja itu terletak di kaki bukit, dan monyet-monyet selalu datang mengganggu setiap musim kemarau tiba. Kadang hanya satu dua ekor, tetapi bisa pula sampai puluhan ekor besar kecil menyerbu bersama. Beberapa induk monyet tampak membawa anaknya yang masih merah menempel di dada. Mereka mencari-cari makanan, masuk ke dalam gereja. Tetapi gereja di pelosok kampung seperti ini, tentu tidak ada makanan.

Umat sudah lama merasa terganggu oleh kehadiran monyet-monyet itu. Mereka usul kepada pastor, agar satwa itu diracun. Pastor tidak setuju. “Monyet juga ciptaan Allah, yang wajib kita lindungi. Biar sajalah mereka datang. Kalau ada yang punya singkong atau makanan sisa, bawalah kemari agar monyet-monyet itu tidak kelaparan.” Beberapa orang setuju. Setiapkali datang ke gereja  dari bawah sana, mereka membawa apa saja untuk diberikan kepada monyet.

Suatu ketika, tidak ada satu pun umat yang membawa makanan. Monyet-monyet itu lapar. Ketika Hosti diberkati dan akan dibagikan, monyet-monyet itu menyerbu masuk. Hosti habis dijarah. Anggurnya juga diobok-obok dan tumpah. Peristiwa ini dianggap sebagai penghinaan besar kawanan monyet kepada Allah. Tuntutan umat agar kawanan monyet itu dilenyapkan makin kuat. Tetapi pastor menjawab. “Kalau kita lupa membawakan makanan, mereka akan merampas hosti, karena mereka lapar. Bukan karena ingin menghina Allah.”

# # #

Di stasi itu, Missa hanya bisa diselenggarakan paling banyak sebulan sekali, dan pasti bukan pas hari Sabtu atau Minggu. Juga tidak mungkin pada hari Senin dan Jumat. Sebab stasi itu hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki selama satu hari penuh. Hingga kalau pastor berangkat dari paroki hari Senin, maka misa diadakan hari Selasa. Rabunya pastor kembali ke kota. Kalau berangkatnya Rabu, maka misanya Kamis dan Jum’atnya pastor pulang. Biasanya pastor datang bersama koster, frater, kategis atau siapa saja yang sempat menemani.

Pada suatu hari ketika pastor datang, kawanan monyet yang mengganggu itu tidak kelihatan lagi. “Apakah mereka pindah ke tempat lain?” Pastor itu bertanya kepada tetua umat di stasi itu. Umat itu menggeleng. “Mereka mati semua Pastor. Seharian kami mengumpulkan bangkainya dan menguburkannya. Apakah mereka terkena flu monyet ya Pastor?” Pastor itu menggeleng. “Memang monyet bisa terserang flu, tetapi tidak ada flu monyet. Kalau mereka mati semua berarti ada wabah penyakit lain.”
“Tapi anjing, kucing, ayam dan entog juga banyak yang  ikut mati Pastor! Bahkan lima ekor kambing Pak Markus, juga ikut mati.”
“Barangkali wabah penyakit ini memang telah menyerang semua binatang di kampung ini.”
“Benar Pastor, tupai dan ular juga ada yang ikut mati.”
“Baiklah, setelah misa nanti, kita adakan rapat dengan bapak-bapak di sini.”
“Ibu-ibunya juga perlu Pastor. Sebab Bu Bertha dan Bu Sisil, yakin bahwa binatang-binatang ini mati diracun.”
“Bagus, ajaklah ibu-ibu yang mau ikut. Tetapi jangan terlalu lama, sebab kita juga masih akan membicarakan rencana perbaikan bak tampungan air yang katanya ada yang bocor.”

# # #

Pertemuan sore itu berjalan alot. Sebab tidak ada satu pun umat yang mengaku telah meracun monyet-monyet itu. Beberapa orang bapak dengan sangat yakin mengatakan, bahwa Allah telah mengirim penyakit misterius sebagai peringatan bagi manusia yang telah banyak berdosa. Tetapi Bu Bertha protes. “Pastor, saya sengaja membedah perut beberapa monyet sebelum dikuburkan. Isi perut itu nasi dan singkong dan saya tebarkan ke kerumanan ayam. Ayam-ayam yang memakannya langsung kejang-kejang dan mati.”

Pastor memutuskan bahwa rapat harus segera diakhiri. Tetapi dia akan segera mencari bibit jambu biji, kersen, salam, lamtoro, sengon dan lain-lain yang buah serta pucuk daunnya disukai monyet. Pastor menduga tidak semua monyet mati. “Kalau bukit di belakang gereja itu dihijaukan, pada musim kemarau monyet tidak akan turun lagi. Sebab di atas sana makanan cukup.” Pastor lalu meminta seluruh umat bergotong-royong membuat lubang tanam di seluruh bukit itu. “Harus sudah selesai sebelum musim hujan ya? Nanti kalau hujan datang bibitnya bisa diambil dan langsung ditanam.”

Dugaan Bu Bertha dan Bu Sisil ternyata benar. Malam itu ada lima orang bapak yang datang mengaku dosa, bahwa merekalah yang telah meracun monyet-monyet itu. “Tetapi kami tidak pernah menduga bahwa banyak binatang peliharaan kami yang ikut mati Pastor. Jadi kami berlima siap dihukum dengan doa apa saja.” Lima orang laki-laki itu kepalanya menunduk dan wajahnya tampak sedih. “Dendanya bukan doa, tetapi Anda berlima harus membuat lubang lebih banyak dari bapak-bapak lainnya. Kira-kira berapa lubang yang harus digali ya?”

# # #

Lima orang itu pulang dan berharap rahasia mereka tidak disampaikan pastor ke umat lainnya. Mereka lewat jalanan yang berdebu. Kemarau tahun ini memang sangat kering dan panas. Sebenarnya bukit itu tidak terlalu besar. Panjangnya memang sampai 2 km. lebih, dengan lebar 500 m. Tetapi tingginya kurang dari 100 m, dan seluruh permukaannya penuh dengan gundukan batu. Di sana yang tumbuh hanya rumput dan gerumbulan. Pada musim kemarau seperti ini seringkali bukit itu selalu terbakar.

Padahal kata orang-orang tua, bukit itu dulunya berhutan lebat. Banyak pohon buah-buahan yang disukai monyet. Lalu setiap hari orang-orang menebang pohon-pohon itu dan membawanya pulang sebagai kayu bakar. Lama kelamaan bukit itu menjadi gundul sama sekali. Dulu, katanya monyet-monyet juga banyak, tetapi tidak pernah mengganggu. Katanya, tanah tempat bangunan gereja sekarang ini, dulunya penuh dengan pohon dadap yang bunganya disukai monyet.

Sekembali pastor, orang-orang heran. Mengapa ada lima orang yang pagi-pagi sekali sudah naik ke lereng bukit, sambil membawa cangkul, sekop dan linggis. Mereka berlima menggali lubang demi lubang, sampai matahari terbenam. Beberapa orang juga mencoba turun ke balik bukit, lalu menyusuri pinggiran hutan. Mereka mencari-cari, apakah benar masih ada beberapa ekor monyet yang masih tersisa. Sebab ketika kawanan monyet itu sama sekali sudah tidak datang ke gereja, misa justru menjadi sangat sepi. # # #

Tinggalkan komentar